Minggu, 31 Maret 2013
Macapat
Macapat
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat.. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya di masa Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.
Etimologi
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula. Seorang pakar Sastra Jawa, Arps menguraikan beberapa arti-arti lainnya di dalam bukunya Tembang in two traditions.
Selain yang telah disebut di atas ini, arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis (sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah "melagukan nada keempat".Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu. Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Benang dan diturunkan kepada semua wali.
Sejarah macapat
Secara umum diperkirakan bahwa macapat muncul pada akhir masa Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh ada sebuah teks dari Bali atau Jawa Timur yang dikenal dengan judul Kidung Ranggalawé dikatakan telah selesai ditulis pada tahun 1334 Masehi. Namun di sisi lain, tarikh ini disangsikan karena karya ini hanya dikenal versinya yang lebih mutakhir dan semua naskah yang memuat teks ini berasal dari Bali.
Sementara itu mengenai usia macapat, terutama hubungannya dengan kakawin, mana yang lebih tua, terdapat dua pendapat yang berbeda. Prijohoetomo berpendapat bahwa macapat merupakan turunan kakawin dengan tembang gedhé sebagai perantara. Pendapat ini disangkal oleh Poerbatjaraka dan Zoetmulder. Menurut kedua pakar ini macapat sebagai metrum puisi asli Jawa lebih tua usianya daripada kakawin. Maka macapat baru muncul setelah pengaruh India semakin pudar.
Struktur macapat
Sebuah karya sastra macapat biasany dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada. Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.
Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Jenis metrum macapat
Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.
Tabel macapat
Supaya lebih mudah membedakan antara guru gatra, guru wilangan lan guru lagu dari tembang-tembang tadi, maka setiap metrum ditata di dalam sebuah tabel seperti di bawah ini:
Metrum
Gatra
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Tembang cilik / Sekar alit
Dhandhanggula
10
10i 10a 8é 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a
Maskumambang
4
12i 6a 8i 8a
Sinom
9
8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a
Kinanthi
6
8u 8i 8a 8i 8a 8i
Asmarandana
7
8a 8i 8é 8a 7a 8u 8a
Durma
7
12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i
Pangkur
7
8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i
Mijil
6
10i 6o 10é 10i 6i 6u
Pocung
4
12u 6a 8i 12a
Tembang tengahan / Sekar madya
Jurudhemung
7
8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u
Wirangrong
6
8i 8o 10u 6i 7a 8a
Balabak
6
12a 3é 12a 3é 12u 3é
Gambuh
5
7u 10u 12i 8u 8o
Megatruh
5
12u 8i 8u 8i 8o
Tembang gedhé / Sekar ageng
Girisa
8
8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a
Contoh penggunaan metrum macapat
Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum
Dhandhanggula
Dhandhanggula adalah sebuah metrum yang memiliki watak luwes. Metrum ini diatribusikan kepada Sunan Kalijaga.
Contoh (Serat Jayalengkara):
Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Prajêng Medhang Kamulan winarni, Diceritakan mengenai kerajaan Medhang Kamulan,
narèndrâdi Sri Jayalengkara, ketika sang raja agung Sri Jayalengkara
kang jumeneng nrepatiné, yang bertahta sebagai raja
ambek santa budy alus, memiliki pikiran tenang dan berbudi halus
nata dibya putus ing niti, raja utama pandai dalam ilmu politik
asih ing wadya tantra, mengasihi para bala tentara
paramartêng wadu, sayang terhadap para wanita
widagdêng mring kasudiran, teguh terhadap jiwa kepahlawanan
sida sedya putus ing agal lan alit, berhasil dalam berkarya secara lahiriah maupun batiniah
tan kènger ing aksara. tidak terpengaruh sihir.
Maskumambang
Sinom
pangéran Panggung saksana,
anyangking daluwang mangsi,
dènira manjing dahana,
alungguh sajroning geni,
éca sarwi nenulis,
ing jero pawaka murub.
Asmaradana
Kinanthi
Metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang. Metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.
Contoh (Serat Rama gubahan Yasadipura):
Anoman malumpat sampun,
praptêng witing nagasari,
mulat mangandhap katingal,
wanodyâyu kuru aking,
gelung rusak awor kisma,
ingkang iga-iga kêksi.
Pangkur
”Pangkur” berasal dari kata “mungkur” (mundur) yang berarti sudah memundurkan semua hawa napsunya, yang dipikirkan hanya berdarma kepada sesama mahluk Dari kata mungkur atau mundur. disini dilambangkan orang yang sudah tua. dan di harapkan dari tembang pangkur adalah menahan nafsu dan keinginan-keinginan dan memperbanyak ibadah. Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang.
Durma
Mijil
Pocung
Jurudemung
Wirangrong
Balabak
Gambuh
Megatruh
Girisa
Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar